Source: http://www.amronbadriza.com/2012/10/cara-membuat-popup-window-di-blog.html#ixzz2QgZ7w0A2

Selamat Datang Di Blog Rams Aroza

Selamat Datang Di Blog Rams Aroza

Kamis, 25 April 2013


Makalah Tentang Dinamika Islam dan Budaya Jawa dalam Menghadapi Modernisasi


I.         PENDAHULUAN
Islam dalam realitas konkrit ternyata berkembang dengan deret ukur perkembangan modernitas bahkan dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Bagaimanapun tidak bisa dipungkiri, cepat atau lambat budaya modernitas akan menyusup ke segala wilayah kehidupan, bahkan juga menyentuh terhadap pemikiran keislaman. Modernitas sebagai penawar alternatif, harus dipahami sebagai kelanjutan wajar dan logis bagi perkembangan sejarah kehidupan manusia. Islam dan tantangan modernitas adalah tidak lepas dari upaya melihat kembali akar sejarah awal Islam yang menyertai kehidupan kaum Muslim sedunia, termasuk Indonesia dan khususnya di wilayah Jawa.
Ketika Islam masuk di Jawa, masyarakatnya sudah mempunyai kebudayaan yang amat kuat. Kita patut bersyukur bahwa sejak dahulu budaya Jawa tumbuh sebagai budaya yang memiliki sansibilitas dan fleksibilitas yang tinggi terhadap perubahan-perubahan di sekitarnya.[1] Nilai-nilai serta pemikiran-pemikiran yang terkandung di dalamnya pun tak pernah lekang oleh waktu, menjadikannya sebagai budaya yang kokoh menghadapi perubahan zaman. Namun, tentu itu semua tak lantas kita terbebas dari kewajiban kita dalam menjaga kelonggaran dalam budaya jawa.  

II.      RUMUSAN MASALAH
Pada pembahasan makalah kali ini, kami akan mencoba menjelaskan mengenai Dinamika Islam dan Budaya Jawa dalam menghadapi modernitas, dengan batasan masalah sebagai berikut :
A.       Islam dan Modernitas
B.       Kebudayaan Jawa dan  Globalisasi
C.       Modernisasi dalam Nilai Budaya Jawa Islam

III.   PEMBAHASAN
A.       Islam dan Modernitas
Dari istilah “modern”, kemudian lahirlah istilah-istilah lain, seperti: “modernisme”, “modernitas”, dan “modernisasi”.[2] Pada prinsipnya Islam secara tautologis tidak mengenal label-label apapun, seperti adanya penyebutan Islam tradisionalIslam modern dan bahkan Islam liberal. Islam sejatinya ya Islam yang bisa dipahami secara rasional dan berlaku di tempat mana pun. Namun, ketika Islam bersentuhan dengan pemahaman umat yang begitu beragam, lalu muncul label-label Islam yang sesungguhnya berakar pada bagaimana melihat Islam itu sendiri. Persoalannya adalah bagaimana memahami Islam itu berkecakupan luas, agar tidak terjebak pada pelabelan Islam yang cenderung ada kesan pengkotakan itu.
Islam dan modernitas sesungguhnya memiliki jalinan satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Kendati Islam dan modernitas merupakan dua hal yang berbeda, tetapi dalam perjalanannya satu sama lain tidak dipahami secara terpisah. “Modernisasi” dipahami sebagai suatu pendekatan untuk memahami Islam agar bersentuhan dengan penemuan mutakhir manusia dibidang ilmu pengetahuan sebagai akibat “modernitas”. Islam dan modernitas dalam tingkat pemahaman menjadi sesuatu yang integral dan tidak untuk dipertentangkan, melainkan satu sama lain untuk saling melengkapi. Yang dimaksud Islam memiliki cakupan rahmatan lil ‘alamin, adalah bahwa Islam harus bisa ditampilkan dalam konteks zaman mana pun, dan dapat menyelamatkan siapa saja. Apabila Islam jika tidak disandingkan dengan gejala modernitas, maka akan mengalami krisis, dan bahkan kejemuan seiring dengan munculnya tantangan dunia modern yang tak dapat dibendung. Krisis ini begitu sangat dirasakan, karena Islam mengemban tugas untuk selalu memberikan jawaban secara tuntas.
Dalam hal ini, Islam tidak bisa didefinisikan sekadar dalam batas-batas formal. Lebih dari itu, Islam harus dipahami sebagai ajaran yang memiliki prinsip nilai-nilai universal yang membutuhkan realisasi dalam realitas konkrit. Pemahaman ini semakin meneguhkan keyakinan bahwa Islam bagaimanapun tidak bisa lepas dari gejala-gejala modernitas. Sebab, jika Islam dipisahkan dari persinggungan dengan kondisi riil yang berkembang di suatu konteks sosial, tentu sangat mustahil dan bahkan mungkin tidak akan pernah terjadi dalam dunia sejarah.[3]Maka jalan satu-satunya agar Islam tidak selalu tertinggal adalah menampilkan corak penafsiran baru. Pertama, penafsiran Islam yang non-literal, substansial, kontekstual, dan sesuai dengan peradaban Islam yang sedang berkembang. Kedua, model penafsiran yang memisahkan unsur-unsur yang merupakan hasil kreasi budaya setempat, dan unsur-unsur yang merupakan nilai-nilai fundamental atau prinsip-prinsip abadi. Ketiga, umat Islam hendaknya tidak memandang dirinya sebagai “masyarakat” atau “umat” yang terpisah dari golongan lain.[4]
Namun demikian, modernisasi dengan segenap gejala-gejala barunya tidak hanya dilihat segi positifnya saja. Lebih dari itu, gejala modernitas harus dibaca secara kritis agar tidak terjebak pada budaya “kebarat-baratan”, dan pengabaian pada nilai dasar dan moralitas keislaman. Semangat moral dan kemashlahatan yang menjadi ruh ajaran Islam selalu dijadikan acuan dalam menghadapi tuntutan modernitas yang kian hari semakin menunjukkan dinamikanya.

B.       Kebudayaan Jawa dan Globalisasi
Masyarakat Jawa telah memiliki kebudayaan jauh sebelum Islam datang, dan  mengandung nilai yang bersumber pada kepercayaan animisme, dinamisme dan lain-lain. Karkono Kamajaya memberikan batasan tentang kebudayaan Jawa, yaitu perwujudan budi manusia Jawa yang mencakup kemauan, cita-cita, ide, maupun semangat untuk mencapai kesejahteraan, keselamatan dan kebahagiaan lahir batin. Menurutnya, kebudayaan Jawa telah ada sejak zaman prasejarah. Dengan datangnya agama Hindu dan Islam, maka kebudayaan Jawa kemudian menyerap unsur budaya-budaya tersebut sehingga menyatulah unsur pra Hindu, Hindu-Jawa, dan Islam dalam budaya Jawa tersebut.[5]
Sedikit demi sedikit budaya Jawa yang begitu mengakar kuat sejak zaman dahulu kala hingga kini, tak dapat ditampik akan terkena juga dampak globalisasi. Era globalisasi telah membawa manusia pada kemajuan peradaban. Berbagai bentuk perubahan sosial yang menyertai era globalisasi tersebut, pada gilirannya, mempengaruhi cara pandang manusia terhadap kehidupan dan semesta. Pada era global, nilai, norma, dan cara hidup berganti begitu cepat menjadi tatanan baru yang semakin menjauhkan manusia dari kepastian moral dan nilai luhur yang telah dipegang teguh sebelumnya. Ada kecenderungan globalisasi di bidang budaya yang hendak mengikis jati diri budaya bangsa, dan menggantinya dengan nilai-nilai baru yang berasal dari suatu peradaban tertentu, yaitu peradaban Barat. Fenomena seperti inilah terkadang dianggap sebagai tantangan terberat yang mengancam identitas suatu bangsa, khususnya kaum muslimin.[6] Sikap masyarakat yang mulai menganggap remeh dan kuno terhadap budaya Jawa saat ini berdampak terhadap keterpurukan terhadap budaya tersebut. Keengganan tersebut dipicu perasaan masyarakat yang merasa bahwa budaya Jawa memiliki pola hidup dan sikap yang kurang tepat untuk dijunjung di era globalisasi saat ini. Ketidak pedulian inilah yang melatar belakangi semakin pudarnya kebudayaan Jawa. Mengalirnya arus budaya Barat di tengah masyarakat merupakan salah satu penyebab makin berkurangnya antusias masyarakat terhadap perkembangan budaya Jawa yang menjunjung nilai-nilai luhur. Selain itu, penanaman dan pemahaman yang minim menjadi penghambat berkembangnya budaya Jawa.
Dengan semakin memudarnya budaya Jawa mengakibatkan penanaman moral dan budi pekerti dalam masyarakat di era globalisasi cenderung terpuruk. Kurang adanya sikap menghargai baik sesame, orang tua maupun masyarakat. Keengganan tersebut juga menjadikan semakin banyaknya tindakan criminal yang terus marak diperbincangkan karena pengaruh budaya Barat yang semakin mengganas. Dari hal-hal yang kecil hingga besar, semisal cara berpakaian,cara menyapa seseorang maupun cara pergaulan dalam keluarga dan masyarakat cenderung kurang adanya sopan santun.
Penyebab memudarnya budaya Jawa di era globalisasi adalah :
a. Merebaknya budaya Barat di tengah masyarakat
b Berubahnya sikap dan pola masyarakat terhadap budaya Jawa
c. Kurangnya penanaman dan pemahaman budaya Jawa sejak dini.
Kepada masyarakat Indonesia terutama etnis Jawa hendaklah menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dari budaya Jawa. Menghidupkan kembali budaya Jawa sesuai kepribadian bangsa Indonesia. [7]
Hal ini menegaskan yakni, sekalipun ilmu itu berasal dari orang yang tidak seagama dengan kita, dan berada jauh di ujung dunia kita tidak boleh membeda-bedakannya. Karena manusia yang memproduksi dan memakai hasil budaya itu adalah makhluk sosial yang selalu berinteraksi dengan masyarakat lain, maka terbuka kemungkinan nilai-nilai budaya dari orang lainyang dijumpainya dan dipandang cocok.[8]
Berkaitan dengan sifat budaya yang terbuka menerima unsur-unsur lainnya, menurut Frans Magnis Suseno, bahwasanya budaya Jawa memiliki ciri khas yang lentur dan terbuka. Walaupun suatu saat terpengaruh unsur budaya lain, tetapi kebudayaan Jawa masih dapat mempertahakan keasliannya.[9]Kebudayaan jawa di tengah arus globalisasi, terutama masyarakat jawa yang masih menjunjung kebudayaan jawa tidak bisa tidak terbawa arus gelombang modifikasi budaya-budaya dari etnik-etnik yang ada d Indonesia dan bahkan belahan bumi manasaja. Masyarakat pengusung budaya jawa haruslah dapat secara kreatif memaknai perubahan zaman yang semakin hari menunjukkan geliatnya, sehingga penetrasi budaya-budaya dari luar etnik, tidak sampai mengarus nilai-nilai kejawaan itu sendiri. Jika tidak ingin kebudayaan jawa tergeser oleh perubahan-perubahan yang tidak sesuai dengan budaya timur, kita haruslah tetap bertahan pada nilai-nilai luhur yang di kandungnya sembari mengadaptasi budaya-budaya yang ada di sekitarnya, baik dalam ranah konsep maupun prilaku sehari-hari. Sebab, sesungguhnya nilai nilai filosofis budaya jawa jika di tafsirkan secara kreatif merupakan nilai-nilai yang universal.
Cara kita menanggulangi arus globalisasi tersebut salah satunya adalah dengan mengintropeksi diri. Oleh karena itu, perlunya di tingkatkan tameng diri agar tidak terbawa kearah kebobrokan, yaitu dengan kita menggunakan filsafat jawa. Sehingga jangan sampai orang jawa kehilangan kepribadiannya.
Adapun potensi falasafah jawa yang dapat digunakan sebagai tameng diri adalah sebagai berikut :[10]
1.        Ajining diri saka lathi, ajining seliro soko busana artinya nilai diri seseorang terletak pada gerakan lidahnya, nilai badaniah seseorang terletak pada pakaiannya. Harga diri seseorang terletak pada ucapannya.
2.        Aja dhumuko, aja gumun, aja kagetan, artinya jangan sok, jangan mudah terkagum kagum, jangan mudah terkejut.
3.        Aja dhumeh, tepo seliro, ngerti kuwalat artinya jangan merasa hebat, tergantung rasa, tahu karma. Dimanapun kita berada, jangan merasa hebat, berbuat semaunya.
4.        Sugih tanpa bandha, digdoyo tanpa aji, ngalurung tanpa bala, menang tanpa ngasarake artinya kaya tanpa harta, sakit tanpa azimat, menyerang tanpa bala tentara, menang tanpa merendahkan.

C.       Modernisasi dalam Nilai Budaya Jawa
Daerah kebudayaan Jawa itu luas, yaitu meliputi seluruh bagian tengah dan timur dari Pulau Jawa meskipun demikian ada juga daerah-daerah yang bercirikan kejawen, sebelim terjadi perubahan status wilayah daerah itu meliputi : Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun danKediri. Daerah di luar daerah tersebut dinamakan pesisir dan ujung timur.
  Dua daerah bekas jajahan Kerajaan Mataram sebelum terpecah pada tahun 1755, yaitu Yogyakarta dan Surakarta yang merupakan pusat dari Kebudayaan Jawa.
 Masalah pembangunan dan modernisasi, yaitu suatu kelemahan  dari mental     rakyat pedesaan di Jawa yang menjadi penghambat besar dalam hal pembangunan adalah sikapnya yang pasif terhadap hidup. Kesukaan orang Jawa pada ilmu kebatinan, sikap nerima, ketabahan yang ulet dalam hal nerima tetapi lemah dalam hal berkarya.
  Adanya unsur-unsur kebudayaan dalam proses kebudayaan yaitu kebudayaan yang mudah berubah dan sukar berubah. Sistem nilai budaya keyakinan, keagamaan yang dianggap keramat, beberapa adapt yang telah mapan dan tersebar luas di masyarakat, merupakan bagian inti kebudayaan yang sulit diubah, seperti keyakinan agama, adapt istiadat maupun sistem nilai budaya. Ada pula kebudayaan yang mudah berubah seperti alat-alat atau benda-benda hasil seni budaya mudah untuk berubah.
  Nilai budaya Jawa Islam yang sulit berubah di masa modern ini adalah yang terkait dengan keyakinan keagamaan dan adapt istiadat, seperti kehidupan spiritual di era modern ini tampak mengalami peningkatan termasuk dalam kalangan masyarakat Jawa. Hal ini disebabkan karena sebagian besar orang mulai merasakan dampak atau pengaruh negative dari budaya modern yang menonjolkan logika dan materi, tetapi kurang dalam nilai spiritual.[11]
Nilai spiritual itu terlihat pada acara selametan dan wetonan dengan membuat buburabang putih. Ketenangan batin mereka terusik jika tidak melakukan selametan, apalagi yang berkaitan dengan siklus kehidupan. Kehidupan spiritual di era modern ini secara umum memang tampak mengalami peningkatan, termasuk di kalangan masyarakat jawa. Hal ini di sebabkan karena sebagian besar orang mulai merasa pengaruh negatif dari budaya modern yang hanya menonjolkan logika dan materi, tetapi kering akan nilai spiritual. Mereka cenderung mengutamakan hal yang bersifat materi dan rasional., tetapi melupakan nilai sosial dan batiniah. Sejalan dengan hal itu, maka banyak orang merindukan ketenangan batin dan larilah mereka ke ajaran agama dan kehidupan spiritual termasuk spiritualitas jawa islam, yang mulai banyak dilirik kembali oleh masyrakat modern. Kehidupan spiritual di butuhkan pula oleh manusia modern di saat terjadi persaingan ketat yang menuntut profosionalisme dan kualitas tinggi di berbagai bidang. Hal ini menyebabkan banya orang yang stres, dan mereka mencari ketenangan batin, di antaranya dengan kembai pada tradisi spiritual jawa islam. Tidak mengherankan jika di era moderen ini upacara yang sejak dulu telah mengakar di masyarakat, yang bersifat religius magis banyak dilakukan lagi, seperi ruwatan untuk membuang sial.
Adapun adat istiadat Jawa yang telah mengalami pergeseran nilai dan dipandang tidak magis lagi, tetapi sekedar bernilai seni, misalnya rangkaian acara dalam pernikahan, seperti tarub,siramanmidodurenkacar-kucur, dan sebagainya. Dengan sifat budaya yang lentur, diharapkan nilai-nilai budaya Jawa Islam yang luhur masih dapat bertahan sewaktu harus berhadapan dengan unsur budaya modern yang global. [12]

IV. KESIMPULAN
Kebudayaan jawa yang mendapat gelar adi luhung, sangat berpengaruh di seluruh pelosok nusantara bahkan di kawasan regional asia tenggara, kebudayaan jawa menempati posisi yang sangat vital. Penyebab orang jawa di berbagi benua pasti membawa tradisi dan adat istiadatnya. Oleh karena itu, kebudayaan jawa secara aktif menyesuaikan diri dengan arus globalisasi. Perkembangan iptek yang semakin ngerisi dan cenderung kejam dan terkesan tidak manusiawi dalam era globalisasi ini, kian mendesak budaya tradisi. Akibatnya kearifan sosial dan nilai-nilai luhur budaya di tinggalkan, dan jati diri bangsa menjadi memudar.
Manusia jawa memiliki budaya dan identitas secara jelas, dan identitas budaya itu sebagai cirri khas yang di mulai sejak jaman kerajaan. Akan tetapi, di zaman sekarang identitas tersebut telah banyak berubah seiring dengan adanya pengaruh budaya luhur, sehingga budaya jawa mengalami erosi. Maka muncullah istilah ”wong jawa ilang jawane” aritinya banyak orang jawa yang kehilangan identitas primernya seperti : filsafah ungguh unguh (saling menghormati), tradisi budaya, penggunaan bahasa, dsb. Oleh karena itu kita harus eling lan waspada sesuai dengan falsafah jawa. Dunia berkembang kita ikut berkembang tapi tidak meninggalkan kepribadian diri (harga diri).

VPENUTUP
Demikianlah pemaparan makalah yang dapat kami sampaikan. Kami sadar bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari segi penulisan (materi) maupun dari segi sistematika penulisan. Oleh karena itu kritik dan saran yang konstruktif sangat kami butuhkan demi kesempurnaan makalah kami selanjutnya. Semoga dapat bermanfaat dan menambah wawasan kita semua. Amin.




DAFTAR PUSTAKA

Amin, M.Darori. 2000.Islam dan Kebudayaan Jawa.Yogyakarta:Gama Media
Kamajaya, Karkono. 1995. Kebudayaan Jawa : Perpaduannya dengan IslamYogyakarta:IKAPI
Zaqzuq, Mahmud Hamdi. 2004. Reposisi Islam di Era GlobalisasiYogyakarta:Pustaka Pesantren
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan Jawa di Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1972
http://sadewalima.blogspot.com/2010/01/modernisasi.html
http://muhzaini.blogspot.com/2010/05/islam-dan-tantangan-modernitas-oleh.html
http://mengerjakantugas.blogspot.com/2009/05/pengertian-modernisasi.html
http://islamdanbudayajawa.google.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar